Tabea!

Semua ini adalah usaha sadar untuk kembali “menemukan” apa yang kita harapkan akan diberi label “Kebudayaan Minahasa” di hari ini, bukan hanya dari hari kemarin...

Slamat Baku Dapa!

Ini sebuah pencarian identitas. Sesuatu yang sudah sedemikian lama terkaburkan agar kita, Orang Minahasa, kehilangan pegangan menuju masa depan.

Ratu Oki di Desa Kali Tombatu

Laporan Denni Pinontoan

Tombatu-Leput412. Awalnya, ketika baru memasuki Wanua (pemerintah menyebutnya desa) Kali, kecamatan Tombatu, tidak terkesan sesuatu yang istimewa. Wanua itu, sepintas serupa dengan wanua-wanua lain yang ada di Tanah Minahasa. Rumah-rumah panggung khas Minahasa, beberapa di antaranya kelihatan berdiri kokoh. Tapi banyak juga rumah-rumah yang bermodel modern dengan semen, besi, dll sebagai bahan bakunya. Tampak juga sejumlah gereja dengan menaranya yang menjulang tinggi, seakan-akan telah menggapai awan berdiri kokoh menghiasi wanua itu. Para ibu-ibu, sibuk dengan urusan rumah tangganya, tapi juga ada yang kelihatan baru pulang dari kebun. Para suami, ada yang kelihatan masih sibuk dengan pekerjaan rutinnya. Anak-anak kecil riang bermain di halaman rumah.
Wanua Kali, kira-kira 10 menit dari ibu Kota Kecamatan Tombatu. Biasanya, dapat ditempuh dengan ojek, dengan ongkos Rp. 2.000 per orang. “Tidak terlalu jauh jaraknya,” kata seorang tukang ojek.
Jika dari Tombatu, kalau kita menuju ke wanua Kali, di salah satu lokasi kita akan menyaksikan pemandangan danau Bulilin, yang tenang laksana seorang yang sudah uzur usianya. Menurut cerita warga setempat danau Bulilin menyimpan sejumlah sejarah terkait dengan terbentuknya sub etnis Tombatu itu.
Siapa yang tahu, kalau ternyata salah satu sub etnis di Minahasa itu, dulunya pernah mengenal sistem kerajaan. Adalah sejarahnya orang-orang Toundanow atau Tonsawang atau juga Tombatu yang mengisahkan itu. Cerita turun temurun di sub etnis itu meyakini bahwa di zaman penjajahan bangsa Spanyol (bangsa ini disebut orang setempat dengan Tasikela) pernah hidup seorang pemimpin perempuan yang mereka sebut Ratu Oki.
“Memang dulu di sini, pernah bertakhta seorang pemimpin perempuan yang warga setempat di sini menyebutnya Ratu Oki,” kata Opa Ellon Pongulu, lelaki berusia 80 tahun yang dirujuk oleh Hukum Tua wanua Kali untuk mencari tahu tentang sejarahnya Ratu Oki dan Tombatu tersebut.
Opa Ellon yang pernah menjabat Ketua Jemaat GMIM “Kalvari” Kali ini menceritakan, sebelum terbentuknya sub etnis Tombatu dan wanua-wanuanya, daratan yang menjadi pemukiman sekarang adalah danau. “Tombatu ini, dulunya, menurut cerita yang diturunkan kepada kami oleh para tua-tua ditutupi oleh air danau Bulilin. Saya pikir itu memang benar adanya, karena sisa danau yang telah mengecil tersebut masih ada hingga sekarang, yaitu danau Bulilin,” kata Opa Ellon yang ditemui di kediamannya di wanua Kali.
Selain danau Bulilin, ada juga danau-danau kecil lainnya di Tombatu. Selain keadaan geografisnya yang dikitari oleh sejumlah gunung dan perbukitan, danau-danau kecil yang terdapat di sejumlah wanua di sub etnis Tombatu, memperkuat kepercayaan mereka bahwa daratan yang didiami sekarang dahulunya adalah danau. Di wanua Kali, selain danau Bulilin, ada juga danau Sosong dan Kasah. Sementara di wanua Silian ada danau Kawelaan.
Danau-danau ini sangat terkait dengan kisah terbentuknya daratan Tombatu. Danau Bulilin, dulunya adalah danau besar yang meliputi Tombatu, wanua Silian, wanua Kali dan wanua Kuyanga. “Danau Bulilin menjadi kering sehingga berubah menjadi daratan untuk bisa menjadi lokasi pemukiman adalah usaha dari Dotu Lelemboto. Ia membuat semacam parit atau juga terowong besar di wanua Kuyanga sebagai tempat keluarnya air danau Bulilin,” jelas Opa Ellon.
Kisah tentang Ratu Oki, sangat dekat di kalangan warga setempat. Dikisahkan, Ratu Oki adalah seorang pemimpin perempuan yang pemberani. Dia gigih memimpin perang melawan penjajah Spanyol atau orang-orang Tasikela itu. “Bukti sejarahnya masih ada hingga sekarang. Di atas bukit itu (sambil menunjuk ke sebuah bukit) ada Batu Lesung. Kami di sini, lewat cerita turun temurun, mengerti itu sebagai tempat mencuci tangan dan kaki Ratu Oki,” kata Opa Ellon.
Bersama Hukum Tua kali Yunus Tiouw ( 52 thn) kami kebetulan sebelumnya sempat mengamati Batu Lesung yang dimaksud Opa Ellon. Batu lesung itu berada di sebuah bukit yang jaraknya kira-kira 300 meter dari perkampungan. Batu lesung itu, berdiameter 50 cm. “Warga yang ke kebun kadang menggunakan batu lesung ini sebagai tempat menggosok peda (parang – red), sehingga bentuknya tidak teratur seperti ini,” kata Tiouw sambil meraba-raba batu lesung tersebut yang permukaan pinggirnya tidak lagi rata.
Menariknya, di dalam batu lesung tersebut terdapat air, yang menurut Tiouw, tidak pernah kering meski musim kemarau berkepanjangan. “Menurut cerita, dari dahulu, batu lesung ini memang ada airnya. Di sinilah Ratu Oki mencuci tangan atau kakinya,” jelas Tiouw.
Kiprah Ratu Oki dalam panggung sejarah anak suku Tombatu, menurut P.A. Gosal, dkk dalam makalah mereka berjudul Ringkasan Sejarah Toundanow-Tonsawang yang disampaikan pada Musyawarah Kebudayaan Minahasa (27-28 Juli 1995 di Auditorium Bukit Inspirasi Tomohon) berkisar di tahun 1644 sampai 1683. Waktu itu, terjadi perang yang hebat antara anak suku Tombatu (juga biasa disebut Toundanow atau Tonsawang) dengan para orang-orang Spanyol. Perang itu dipicu oleh ketidaksenangan anak suku Tombatu terhadap orang-orang Spanyol yang ingin menguasai perdagangan terutama terhadap komoditi beras, yang kala itu merupakan hasil bumi andalan warga Kali. Di samping itu kemarahan juga diakibatkan oleh kejahatan orang-orang Spanyol terhadap warga setempat, terutama kepada para perempuannya.
Perang itu telah mengakibatkan tewasnya 40 tentara Spanyol di Kali dan Batu (lokasi Batu Lesung sekarang – red). Naasnya, di pihak anak suku Tombatu, telah mengakibatkan tewasnya Panglima Monde bersama 9 orang tentaranya. Panglima Monde tidak lain adalah suaminya Ratu Oki. Menurut yang dikisahkan dalam makalah itu, Panglima Monde tewas setelah mati-matian membela istrinya, Ratu Oki.Menurut P.A. Gosal, dkk., dalam masa kekuasaan Ratu Oki, anak suku Toundanow (sebutan lain untuk anak suku Tombatu atau Tonsawang) yang mendiami sekitar danau Bulilin hidup sejahtera, aman dan tenteram. “Atas kebijaksanaan dan kearifannya memimpin anak suku Toudanow maka Ratu Oki disahkan juga sebagai Tonaas atau Balian. Selama kepemimpinnan Ratu Oki, Spanyol dan Belanda tidak pernah menguasai atau menjajah anak Toundanow,” tulis Gosal, dkk.

(Diambil dari www.leput412.blogspot.com)


5 komentar:

  1. Tabloid Menado : Sulawesi Utara * Jakarta * Australia * Japan * USA mengatakan...
     

    kami sangat mendukung usaha Ron Minahasa
    selamat dan sukses !

  2. Andre Gunz mengatakan...
     

    pengen dong liat gambar2 pemandangan di tombatu... terutama di tombatu II

  3. Erdiva Tomstone mengatakan...
     

    artikel yang sangat menarik terutama bagi kami warga toundanow tonsawang yang miskin sejarah ...artikel ini membuka wawasan bahwa kita sebenarnya keturunan dari ratu Oki penguasa Toundanow....Hidup Minahasa !

  4. Unknown mengatakan...
     

    mantap,.


    qt org tmbatu noh,.
    mampir p qt p blog neh,.
    www.bry-xp.co.cc

  5. Harris st. mengatakan...
     

    apakah orang tombatu dan orang tonsawang itu sama atau 2 kelompok yang berbeda ?

Posting Komentar