Tabea!

Semua ini adalah usaha sadar untuk kembali “menemukan” apa yang kita harapkan akan diberi label “Kebudayaan Minahasa” di hari ini, bukan hanya dari hari kemarin...

Slamat Baku Dapa!

Ini sebuah pencarian identitas. Sesuatu yang sudah sedemikian lama terkaburkan agar kita, Orang Minahasa, kehilangan pegangan menuju masa depan.

Dari Kacang Sangrai Sampai Ragey Tersedia

Laporan Denni Pinontoan

Sebuah Wisata Kuliner di Kawangkoan















Kota Kecil Kawangkoan, sebuah kawasan yang tak terlalu berubah akibat modernisasi. Warga di sini masih setia dengan beberapa adat istiadat Minahasa. Berbicara pun, mereka masih kental dengan Bahasa Manado Melayu dan Bahasa Minahasa (makatana) rumpun Toutemboan. Hubungan kekerabatan antar warga pun masih kental.

Kota Kawangkoan yang termasuk di wilayah administrasi pemerintahan Kabupaten Minahasa ini, terletak di daerah pegunungan, yang udaranya relatif masih sejuk seolah-seolah tidak sedang bermasalah dengan global warming. Ke Kota Kawangkoan, dari Kota Manado, kita membutuhkan waktu kurang lebih sejam. Kalau dari Kota Tomohon, waktunya kira-kira hanya setengah jam atau kurang.

Dari arah Kota Manado dan Tomohon, memasuki Kota Kawangkoan, kita akan melihat beberapa gua Jepang, di sebuah tempat yang disebut Ranowangko. Bahkan, di kelurahan Sendangan, ada Gua Lima Puluh Kamar. Disebut Gua Lima Puluh Kamar, karena jumlah kamar di gua ini konon berjumlah 50 buah. Objek wisata ini sebenarnya menarik, tapi sayang pemerintah kabupaten belum menata dan mengolahnya secara serius. Di kelurahan Kinali ada juga Air Panas, yang bagus untuk terapi kesehatan.

Tapi kali ini kita tidak akan ke tempat-tempat wisata itu. Sebab, Anda pasti pernah dengar, bahwa Kota Kawangkoan terkenal dengan sebutannya sebagai Kota Kacang. Ini terkait dengan yang khas di kota ini, yaitu Kacang Sangrai yang gurih, lezat dan renyah. Kacang Sangrai pun menjadi salah satu sumber pendapatan bagi warga di kota kelahiran sejumlah tokoh pergerakan ini. Ada warga yang berprofesi menjual dan ada warga yang bekerja memproduksi kacang Sangrainya. “Tapi sebenarnya, kacang-kacang itu tidak semua ditanam di Kawangkoan ini. Banyak di antaranya yang diambil dari luar Kawangkoan, misalnya Tompaso,” ujar Doni Masengi, warga Kelurahan Talikuran, yang bersedia menemani sulutlink berwisata kuliner kali ini.

Kebanyakan kacang sangrai bisa kita temui di pusat Kota Kawangkoan. Jenis kacang Sangrai yang dijual di kota ini ada dua, yaitu kacang biasa, tapi dan kacang yang banyak diminati pembeli, yaitu kacang jenis belimbing. “Kalau kacang sangarai jenis belimbing, rasanya lebih gurih, dan buah kacangnya lebih besar dan padat. Tapi harganya memang lumayan juga, sekitar Rp. 7000 sampai Rp. 7500 perliter,” ujar Doni. Kami pun coba menyantapnya. Wow, memang enak.

***

Para pelancong yang singga di kota ini sering menjadikan kacang sangrai ini sebagai oleh-oleh untuk sanak family yang menunggu di rumah. Selain kacang sangrai ada juga jenis jajanan lainnya, misalnya halua yang terbuat dari gula merah dan kacang, kemudian bagea, kue kering yang terbuat sari sagu, dan ada juga kacang goyang. Semua kue kering ini memang khas Minahasa. “Kebanyakan pembeli di sini, selain warga yang melewati kota ini setelah bepergian dari kota lain, tapi ada juga para turis yang ingin menikmati kuliner khas Minahasa,” jelas Doni.

Tapi di kota ini bukan hanya kuliner yang kering-kering. Sajian makanan yang basah-basah juga terdapat di kota ini. Selain terkenal dengan kacang sangrai, kota Kawangkoan juga terkenal dengan Bakpao atau Biapong khas Kawangkoan. Ada Biapong yang isinya daging babi, ada juga biapong yang isinya temo. Sejumlah rumah kopi di pusat kota kawangkoan menjadikan Biapong sebagai menu andalannya. Dan, biapong memang enak disantap bersama dengan kopi susu, teh susu, atau kopi pahit manis saja. Selain biapong, ada juga roti bakar. Roti bakarnya memang lezat, karena dibakar dengan menggunakan bara tempurung.

Ada sekitar 3 rumah kopi besar di pusat kota Kawangkoan, yaitu rumah kopi Sarinah, Toronata dan Gembira. Setiap pagi dan sore rumah-rumah kopi ini dipadati oleh para pengunjungnya. Sambil minum kopi susu dan makan biapong para pengunjung juga menggunakan waktu santai itu untuk bacirita banyak hal. Mulai dari soal bola, politik, sampai urusan dagang, blante (barter), misalnya. “Para pengunjung rumah-rumah kopi ini, selain yang dari luar, sekedar untuk singgah dan membeli jajanan, tapi juga warga Kawangkoan yang rutin ke sini sering menjadikan rumah-rumah kopi ini untuk baciria banyak hal. Ada yang bicara tentang bola, blante, bahkan juga soal politik,” kata Doni lagi.

Setelah puas dengan berbelanja oleh-oleh, dan minum kopi serta maka biapong, saatnya kita makan nasi dan berbagai jenis menu khas Minahasa, seperti ragey, RE, Tinoransak, saroy pait, dan lain sebagainya. Di Kota Kawangkoan ada beberapa rumah makan yang menyediakan menu-menu ini.

Di ujung kota ini, ada rumah makan yang cukup bagus dengan sajian menu yang lengkap, tapi bisa dijangkau oleh kantong yang pas-pasan. Di rumah makan “eleny” kita bisa memesan beragam menu khas Minahasa. Tempatnya cukup strategis, pemandangan pegunungan menambah kekhasan rumah makan ini. Di rumah makan ini tersedia ragey, sebagai menu andalan, RW, Tinoransak, saroy pait, bia santang dan lain-lain. “Ragey (sejenis sate, tapi daging babinya lebih besar), adalah khas Kawangkoan. Sekarang banyak rumah makan di luar Kawangkoan yang telah menjadikannya sebagai menu andalan,” jelas Doni.

Lengkap sudah wisata kuliner kita kali ini. Kacang Sangrai sudah, biapong sudah, ragey sudah. Apalagi? Saatnya kita pulang. Kapan-kapan kita balik lagi ke sini, berwisata ke Gua Lima Puluh Kamar atau mandi air panas di Kinali.





(Diambil dari www.leput412.blogspot.com)

Ratu Oki di Desa Kali Tombatu

Laporan Denni Pinontoan

Tombatu-Leput412. Awalnya, ketika baru memasuki Wanua (pemerintah menyebutnya desa) Kali, kecamatan Tombatu, tidak terkesan sesuatu yang istimewa. Wanua itu, sepintas serupa dengan wanua-wanua lain yang ada di Tanah Minahasa. Rumah-rumah panggung khas Minahasa, beberapa di antaranya kelihatan berdiri kokoh. Tapi banyak juga rumah-rumah yang bermodel modern dengan semen, besi, dll sebagai bahan bakunya. Tampak juga sejumlah gereja dengan menaranya yang menjulang tinggi, seakan-akan telah menggapai awan berdiri kokoh menghiasi wanua itu. Para ibu-ibu, sibuk dengan urusan rumah tangganya, tapi juga ada yang kelihatan baru pulang dari kebun. Para suami, ada yang kelihatan masih sibuk dengan pekerjaan rutinnya. Anak-anak kecil riang bermain di halaman rumah.
Wanua Kali, kira-kira 10 menit dari ibu Kota Kecamatan Tombatu. Biasanya, dapat ditempuh dengan ojek, dengan ongkos Rp. 2.000 per orang. “Tidak terlalu jauh jaraknya,” kata seorang tukang ojek.
Jika dari Tombatu, kalau kita menuju ke wanua Kali, di salah satu lokasi kita akan menyaksikan pemandangan danau Bulilin, yang tenang laksana seorang yang sudah uzur usianya. Menurut cerita warga setempat danau Bulilin menyimpan sejumlah sejarah terkait dengan terbentuknya sub etnis Tombatu itu.
Siapa yang tahu, kalau ternyata salah satu sub etnis di Minahasa itu, dulunya pernah mengenal sistem kerajaan. Adalah sejarahnya orang-orang Toundanow atau Tonsawang atau juga Tombatu yang mengisahkan itu. Cerita turun temurun di sub etnis itu meyakini bahwa di zaman penjajahan bangsa Spanyol (bangsa ini disebut orang setempat dengan Tasikela) pernah hidup seorang pemimpin perempuan yang mereka sebut Ratu Oki.
“Memang dulu di sini, pernah bertakhta seorang pemimpin perempuan yang warga setempat di sini menyebutnya Ratu Oki,” kata Opa Ellon Pongulu, lelaki berusia 80 tahun yang dirujuk oleh Hukum Tua wanua Kali untuk mencari tahu tentang sejarahnya Ratu Oki dan Tombatu tersebut.
Opa Ellon yang pernah menjabat Ketua Jemaat GMIM “Kalvari” Kali ini menceritakan, sebelum terbentuknya sub etnis Tombatu dan wanua-wanuanya, daratan yang menjadi pemukiman sekarang adalah danau. “Tombatu ini, dulunya, menurut cerita yang diturunkan kepada kami oleh para tua-tua ditutupi oleh air danau Bulilin. Saya pikir itu memang benar adanya, karena sisa danau yang telah mengecil tersebut masih ada hingga sekarang, yaitu danau Bulilin,” kata Opa Ellon yang ditemui di kediamannya di wanua Kali.
Selain danau Bulilin, ada juga danau-danau kecil lainnya di Tombatu. Selain keadaan geografisnya yang dikitari oleh sejumlah gunung dan perbukitan, danau-danau kecil yang terdapat di sejumlah wanua di sub etnis Tombatu, memperkuat kepercayaan mereka bahwa daratan yang didiami sekarang dahulunya adalah danau. Di wanua Kali, selain danau Bulilin, ada juga danau Sosong dan Kasah. Sementara di wanua Silian ada danau Kawelaan.
Danau-danau ini sangat terkait dengan kisah terbentuknya daratan Tombatu. Danau Bulilin, dulunya adalah danau besar yang meliputi Tombatu, wanua Silian, wanua Kali dan wanua Kuyanga. “Danau Bulilin menjadi kering sehingga berubah menjadi daratan untuk bisa menjadi lokasi pemukiman adalah usaha dari Dotu Lelemboto. Ia membuat semacam parit atau juga terowong besar di wanua Kuyanga sebagai tempat keluarnya air danau Bulilin,” jelas Opa Ellon.
Kisah tentang Ratu Oki, sangat dekat di kalangan warga setempat. Dikisahkan, Ratu Oki adalah seorang pemimpin perempuan yang pemberani. Dia gigih memimpin perang melawan penjajah Spanyol atau orang-orang Tasikela itu. “Bukti sejarahnya masih ada hingga sekarang. Di atas bukit itu (sambil menunjuk ke sebuah bukit) ada Batu Lesung. Kami di sini, lewat cerita turun temurun, mengerti itu sebagai tempat mencuci tangan dan kaki Ratu Oki,” kata Opa Ellon.
Bersama Hukum Tua kali Yunus Tiouw ( 52 thn) kami kebetulan sebelumnya sempat mengamati Batu Lesung yang dimaksud Opa Ellon. Batu lesung itu berada di sebuah bukit yang jaraknya kira-kira 300 meter dari perkampungan. Batu lesung itu, berdiameter 50 cm. “Warga yang ke kebun kadang menggunakan batu lesung ini sebagai tempat menggosok peda (parang – red), sehingga bentuknya tidak teratur seperti ini,” kata Tiouw sambil meraba-raba batu lesung tersebut yang permukaan pinggirnya tidak lagi rata.
Menariknya, di dalam batu lesung tersebut terdapat air, yang menurut Tiouw, tidak pernah kering meski musim kemarau berkepanjangan. “Menurut cerita, dari dahulu, batu lesung ini memang ada airnya. Di sinilah Ratu Oki mencuci tangan atau kakinya,” jelas Tiouw.
Kiprah Ratu Oki dalam panggung sejarah anak suku Tombatu, menurut P.A. Gosal, dkk dalam makalah mereka berjudul Ringkasan Sejarah Toundanow-Tonsawang yang disampaikan pada Musyawarah Kebudayaan Minahasa (27-28 Juli 1995 di Auditorium Bukit Inspirasi Tomohon) berkisar di tahun 1644 sampai 1683. Waktu itu, terjadi perang yang hebat antara anak suku Tombatu (juga biasa disebut Toundanow atau Tonsawang) dengan para orang-orang Spanyol. Perang itu dipicu oleh ketidaksenangan anak suku Tombatu terhadap orang-orang Spanyol yang ingin menguasai perdagangan terutama terhadap komoditi beras, yang kala itu merupakan hasil bumi andalan warga Kali. Di samping itu kemarahan juga diakibatkan oleh kejahatan orang-orang Spanyol terhadap warga setempat, terutama kepada para perempuannya.
Perang itu telah mengakibatkan tewasnya 40 tentara Spanyol di Kali dan Batu (lokasi Batu Lesung sekarang – red). Naasnya, di pihak anak suku Tombatu, telah mengakibatkan tewasnya Panglima Monde bersama 9 orang tentaranya. Panglima Monde tidak lain adalah suaminya Ratu Oki. Menurut yang dikisahkan dalam makalah itu, Panglima Monde tewas setelah mati-matian membela istrinya, Ratu Oki.Menurut P.A. Gosal, dkk., dalam masa kekuasaan Ratu Oki, anak suku Toundanow (sebutan lain untuk anak suku Tombatu atau Tonsawang) yang mendiami sekitar danau Bulilin hidup sejahtera, aman dan tenteram. “Atas kebijaksanaan dan kearifannya memimpin anak suku Toudanow maka Ratu Oki disahkan juga sebagai Tonaas atau Balian. Selama kepemimpinnan Ratu Oki, Spanyol dan Belanda tidak pernah menguasai atau menjajah anak Toundanow,” tulis Gosal, dkk.

(Diambil dari www.leput412.blogspot.com)


"Bukit Kasih, Bukit Miste-"Religius" Yang Rapuh

Oleh:
Chandra Dengah Rooroh

Bagian kecil catatan dari ekspedisi Pinawetengan, Tonsewer, Kinali dan kanonang 28-29 September 2008

Masyarakat yang mengalami “masifikasi” adalah masyarakat yang sudah memasuki proses sejarah, tetapi kemudian dimanipulasi oleh golongan elit untuk dijadikan kelompok yang tidak berpikir dan mudah dikendalikan. Proses ini disebut “masifikasi”, lawannya adalah “konsientisasi”, yakni proses untuk mencapai kesadaran kritis (Karl Popper, "The Open Society and its Enemies").

Sekali lagi saya terhenyak ketika menginjakkan kaki di tempat ini Perasaan heran bercampur sakithati berbaur tak karuan dalam pikiranku. Apakah aku berada ditempat yang benar seperti kata teman- temanku ataukah aku sudah berada di tampat lain yang mirip dengan tempat ini?? Ternyata memang benar saya memang berada di tempat yang bernama bukit kasih. Sebuah lokasi wisata alam yang terletak desa Kanonang- kawangkoan, kurang lebih 60 km jarak dari kota manado dan ditempuh dengan waktu 1 jam 30 menit ini sudah berada dihadapanku kembali, yang di jaga kokoh oleh sebuah menara raksasa yang bernama menara kasih.. bersama- sama dengan teman- teman dari ekspedisi mawale movement (sastra_minahasa.blogspot.com) online, diantaranya Greenhill Weol, freddy Wowor, Bodewyn Talumewo, juga teman- teman dari Pinawetengan Muda Frisky Tandaju, Roy Najoan, Frits Singal dan Jolen Kawulur, sampailah kami di tempat ini setelah menempuh perjalanan dari desa Pinawetengan, Kinali dan Tonsewer.
Pijakan kaki kananku jatuh setelah turun dari motor Thunder kesayangan Green dan langsung membuat pikiran menerawang ini ke masa yang lalu, 16 juni 2003 adalah tanggal pertama kali saya datang ketempat ini dengan rombongan yang berbeda dan kapasitas yang berbeda pula. Decakan kagum terus keluar dari mulutku pada waktu itu. Bagaimana tidak berdiri dihadapan saya sebuah bukit yang sangat indah, dilengkapi dengan sekitar 12000an anak tangga yang memadai untuk mengadakan perjalanan religius (via do lorosa), patung- patung leluhur minahasa berdiri begitu gagah yang meninggalkan kesan betapa kentalnya adat dan budaya dan persatuan kita sebagai orang Minahasa, bangunan- bangunan ibadah dari berbagai golongan berdiri berjejeran di lereng bukit yang seakan- akan memperlihatkan hubungan kerjasama antar umat beragama di daerah ini sangat kuat plus sambutan yang ramah dari masyarakat sekitar menandakan bahwa orang daerah sini sudah siap menemui pengunjung dari mana saja, yang artinya akan menyukseskan program WOC (world ocean confrencce) 2009. belum lagi bangunan- bangunan rekreasi berdiri megah disepanjang pandangan bukit itu… begitu saya menginjakkan kaki di anak tangga yang ke 100an lebih terciumlah bau yang menyengat. Ya, itu tidak lain adalah bau belerang yang memang keluar dari tempat ini karena memang tempat ini salah satu lokasi gas alam yang tersebar di beberapa daerah di minahasa.
Yang lebih mengejutkan saya lagi ketika samar- samar saya mendengar suara nyanyian rohani, dengan tergesa- gesa saya langsung naik terus menuju asal suara itu dan benar juga, saya sudah terhenti di jarak 7 meter dari lokasi itu karena didepan saya jelas sekali ada sebuah bangunan besar pertama saya temui yang bernama Gereja Masehi Injili di Minahasa. Yang lebih menyentuh hati saya yaitu sebuah tulisan berbahasa daerah yang tertera dibawah tulisan tadi, (Wale ni Amang Kasuruan Wangko). Dalam hati perasaan senang dan takjub kembali mengelilingi tubuhku, betapa tidak sebagai orang yang dibaptis dari ajaran ini sangat bangga melihat tempat ibadahnya dibangun ditempat seperti ini. Sangatlah sulit untuk mengutarakan ini namun menurut pemikiran saya bahwa agama Kristen sangat lekat sekali dengan budaya serta tradisi orang minahasa. Apa pasal nya, mungkin karena cara penyembahan leluhur kita sama dengan pandangan beribadahnya orang Kristen yang selalu mmenyebut Tuhan Allah yang maha besar (Opo Wailan Kasuruan Wangko), itu saya belum tau pasti. lagi Perasaan yang sulit digambarkan juga adalah ketika saya sampai di patung yang berbentuk leluhur minahasa (Toar Lumimuut) dari gesturnya terlihat sepasang orang minahasa pertama itu seakan- akan sedang menunjuk seluruh tempat didaerah ini. Memang benar kalo kita coba menghadap kearah seperti yang di tunjukkan oleh patung itu maka kita akan melihat hampir seluruh daerah minahasa. Pantas saja kalo tempat itu bernama bukit Kekeretan (tempat meneriakkan sesuatu jika ingin menyampaikan berita kepada seluruh sub-etnis diminahasa dalam hal ini Tontemboan, tolour, tombulu, tonsea, tonsawang, pasan, ponosakan, bantik dan babontehu). secara harafiah juga dipercaya tempat ini seseorang tidak boleh sembarangan membuat keributan karena akan menimbulkan gejala alam seperti hujan dan lain- lain. Banyak masyarakat minahasa juga menyebut tempat ini dengan nama bukit Toar Lumimuut. Sebelum melanjutkan perjalanan melingkari bukit itu Tak sengaja saya menengok kearah kanan bawah dan melihat sebuah setapak kecil kearah hutan bukit seberang dan menghilang, kemudian saya bertanya kepada penduduk disekitar situ, katanya itu adalah jalan ke Watu Pinawetengan. Tapi kenapa tidak diperbaiki dalam hati saya berkata?? Apakah pembangun tempat ini tidak mau memperlihatkan tempat berkumpulnya orang- orang tua minahasa dulu yang merupakn tempat musyawarah, tempat yang notabene melahirkan pikiran- pikiran terbesar sepanjang masa? Apakah ada ketakutan tersendiri dari pembangun tempat ini supay tetap terjaga kesan religius dari objek wisata ini? Lalu kenapa ada patung- patun leluhur berdiri megah disini? kenapa tempat ini dipercaya sebagai tempat pengiriman pesan lisan jaman dahulu? Ataukah ada masalah- maslah daerah kepolisian sehingga menghambat pembangunan daerah wisata ini menjadi lebih besar?
Lamunan saya hancur ketika salah seorang teman saya menepuk pundak saya untuk melanjutkan perjalanan ke atas, ternyata sebagian teman- teman ekspedisi kami sudah meninggalkan kami jauh di atas. Dan kali ini setelah kurun waktu 5 tahun saya kembali kesini. persaan terkejut, decakan kagum, heran bercampur sakithati itu tetap sama diraut muka saya! Bukit kasih yang dulu tak seperti bukit kasih yang sekarang, sampah bertebaran dimana- mana, objek- objek situs- situs yang ada disitu sudah penuh dengan coret- coretan akibat perbuatan tangan jahil, bangunan- bangunan tempat ibadah yang sudah rusak ada dimana- mana, juga pendopo- pendopo tempat peristirahatan yang sudah tidak mempunyai pengaman lagi dan berbahaya bagi para pengunjung karena lokasi wisata ini terletak di lereng gunung ini. Seperti sudah tidak ada yang tidak memperdulikannya lagi. Yang menjadi pertanyaan saya, apakah tampat ini milik seseorang ataukah milik orang Minahasa! Furious mind saya mulai berkecamuk dikepala ini, secara sosiolog apabila seseorang itu mempunyai sesuatu untuk dipelihara maka dia akan menjaganya sampai akhir hayatnya, tapi setelah dia meninggal, siapa yang akan menjaganya apabila anak cucunya tidak ingin menjaganya. Sebaliknya apabila suatu generasi itu mempunyai sesuatu untuk dijaga maka mereka akan menjaganya dan walaupun satu generasi itu hilang masih ada beberapa orang di antara generasi yang baru itu akan tetap menjaganya karena mungkin dari generasi yang lama sudah ada pengkaderisasi untuk sesuatu tersebut. Mungkin benar kata orang- orang bijaksana bahwa lebih baik mencegah daripada mengobati, lebih mudah membuat daripada memelihara.
Kesan religius saya sontak berputar 180derajat ketika saya melihat kembali kedua patung leluhur itu masih berdiri tegak di atas sana dan masih dengan gaya yang sama namun ada perbedaan lain dari kedua wajah itu, dulu dengan bangganya menunjuk dan memperlihatkan seluruh daerah dan generasinya kepada setiap pengunjung yang datang ketempat itu, kini terlihat lusuh, lelah, rusak, kotor, kebanggan mereka berdua seakan- akan perlahan sirna, mulai tidak ada lagi semangat diwajah itu seperti yang dulu, tidak ada lagi jiwa persatuan yang melekat seperti orang minahasa di kedua tubuh itu,serasa ingin mengucapkan bahwa semangat orang minahasa mulai pudar, seperti mewakili tempat itu dan ingin meneriakkan sesuatu (kekeret) kepada kita semua bahwa mungkin ada hal- hal yang perlu di perbaiki, ada hal- hal yang harus kita jaga, ada hal- hal yang harus kita hindari, ada hal- hal yang harus kita korbankan, ada waktu kita bergerak, ada waktu kita melakukan sesuatu sebelum terlambat dan mungkin memang sudah waktunya. karena siapa lagi yang akan membangun sekaligus memelihara daerah minahasa kita kalau bukan kita orang minahasa sendiri. Mngkin saya akan menutup catatan saya ini dengan falsafah yang pernah dikatakan oleh seorang presiden amerika “jangan bertanya apa yang telah Negara berikan kepadamu, tapi tanyakanlah apa yang telah kau berikan kepada negara".

I Jajat U Santi!!!